LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI
A. Definisi Halusinasi
1. Pengertian
Halusinasi
adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya
penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber
dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
Halusinasi
adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs,
2002).
Persepsi
merupakan tanggapan indera terhadap rangsangan yang datang dari luar, dimana
rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan penglihatan, penciuman,
pendengaran, pengecapan dan perabaan. Interpretasi (tafsir) terhadap rangsangan
yang datang dari luar itu dapat mengalami gangguan sehingga terjadilah salah
tafsir (missinterpretation). Salah tafsir tersebut terjadi antara lain karena
adanya keadaan afek yang luar biasa, seperti marah, takut, excited
(tercengang), sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi gangguan atau
perubahan persepsi (Triwahono, 2004).
Persepsi
didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu
disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan
rangsang (Stuart, 2007).
2. Tanda dan Gejala Halusinasi
Menurut
Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai
berikut:
·
Bicara
sendiri.
·
Senyum
sendiri.
·
Ketawa
sendiri.
·
Menggerakkan
bibir tanpa suara.
·
Pergerakan
mata yang cepat
·
Respon
verbal yang lambat
· Menarik diri
dari orang lain.
·
Berusaha
untuk menghindari orang lain.
· Tidak dapat
membedakan yang nyata dan tidak nyata.
· Terjadi
peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
· Perhatian
dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
·
Berkonsentrasi
dengan pengalaman sensori.
· Sulit
berhubungan dengan orang lain.
·
Ekspresi
muka tegang.
· Mudah
tersinggung, jengkel dan marah.
· Tidak mampu
mengikuti perintah dari perawat.
·
Tampak tremor dan berkeringat.
· Perilaku panik.
· Agitasi dan
kataton.
· Curiga dan
bermusuhan.
· Bertindak
merusak diri, orang lain dan lingkungan.
· Ketakutan.
· Tidak dapat
mengurus diri.
· Biasa terdapat
disorientasi waktu, tempat dan orang.
3. Tahapan/Tingkatan Halusinasi
Menurut Stuart dan Laraia (2001), terdiri dari 4 fase :
Menurut Stuart dan Laraia (2001), terdiri dari 4 fase :
Fase I :
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak
sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan
asyik sendiri.
Fase II :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan
mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan.
Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan
darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk
membedakan halusinasi dengan realita.
Fase III :
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien
sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi
perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan
terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Fase IV :
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri,
tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
4. Klasifikasi Halusinasi
a. Halusinasi pendengaran
karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b.Halusinasi penglihatan :
karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu :
karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi peraba :
karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi pengecap :
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.
f. Halusinasi sinestetik :
karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine. (Menurut Stuart, 2007)
karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine. (Menurut Stuart, 2007)
B. Rentang
Respon
Menurut
Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif
individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi.
- Pikiran logis:
yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
-
Persepsi
akurat: yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului
oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di
dalam maupun di luar dirinya.
-
Emosi
konsisten: yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai
banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
-
Perilaku
sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah
masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum yang berlaku.
-
Hubungan social
harmonis: yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar individu dan individu,
individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
-
Proses pikir
kadang terganggu (ilusi): yaitu menifestasi dari persepsi impuls eksternal
melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu
di otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami
sebelumnya.
-
Emosi
berlebihan atau kurang: yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan
atau kurang.
-
Perilaku tidak
sesuai atau biasa: yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma – norma social atau budaya
umum yang berlaku.
-
Perilaku aneh
atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam menyelesaikan
masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya umum yang
berlaku.
-
Menarik diri:
yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain.
-
Isolasi sosial:
menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam berinteraksi.
-
![]() |
B.
Faktor Predisposisi
Menurut Stuart
(2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a. Penelitian pencitraan otak
sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan
skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
b.
Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
c.
Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi
otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel,
atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan
anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
C. Faktor Presipitasi
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
C. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul
gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan
tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap
stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan
(Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya
gangguan halusinasi adalah:
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
E. Mekanisme koping
1. Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2. Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal. (Stuart, 2007).
II. Masalah Keperawatan dan Data Fokus Pengkajian
Konsep Dasar Keperawatan
1. Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2. Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal. (Stuart, 2007).
II. Masalah Keperawatan dan Data Fokus Pengkajian
Konsep Dasar Keperawatan
Menurut
Carpenito (1998) dikutip oleh Keliat (2006), pemberian asuhan keperawatan
merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat
dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang
optimal. Asuhan keperawatan juga menggunakan pendekatan proses keperawatan yang
terdiri dari pengkajian menentukan masalah atau diagnosa, menyusun rencana
tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi.
1.
Pengkajian
Menurut
Stuart dan Laraia (2001), pengkajian merupakan tahapan awal dan dasar utama
dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data
meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Data pada pengkajian
kesehatan jiwa dapat dikelompokkam menjadi faktor predisposisi, faktor
presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping
yang dimiliki klien.
Berbagai
aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada formulir
pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat (2006) meliputi
beberapa faktor antara lain:
a.
Identitas klien dan penanggung
Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b.
Alasan masuk rumah sakit
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
c. Faktor
predisposisi
1). Faktor perkembangan terlambat
a. Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
b. Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c. Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
2). Faktor komunikasi dalam keluarga
a. Komunikasi peran ganda.
b. Tidak ada komunikasi.
c. Tidak ada kehangatan.
d. Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e. Komunikasi tertutup.
f. Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan komplik orang tua.
3). Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.
4). Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.
5). Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
6). Faktor genetik
1). Faktor perkembangan terlambat
a. Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
b. Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c. Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
2). Faktor komunikasi dalam keluarga
a. Komunikasi peran ganda.
b. Tidak ada komunikasi.
c. Tidak ada kehangatan.
d. Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e. Komunikasi tertutup.
f. Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan komplik orang tua.
3). Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.
4). Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.
5). Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
6). Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan
melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi
faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Diduga letak gen skizofrenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi
genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia,
sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu
orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia,
sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.
d. Faktor
presipitasi
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
1. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
1. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2. Mekanisme penghataran listrik di
syaraf terganggu (mekanisme penerimaan abnormal).
3. Adanya hubungan yang bermusuhan,
tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
e. Faktor Pemicu
1. Kesehatan : Nutrisi dan tidur kurang,
ketidaksiembangan irama sirkardian, kelelahan dan infeksi, obat-obatan system
syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
2. Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-hari,
sukar dalam berhubungan dengan orang lain, isoalsi social, kurangnya dukungan
social, tekanan kerja (kurang terampil dalam bekerja), stigmasasi, kemiskinan,
kurangnya alat transportasi dan ketidakmamapuan mendapat pekerjaan.
3. Sikap : Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus
asa (tidak percaya diri), merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan
keterampilan diri), kehilangan kendali diri (demoralisasi), merasa punya
kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual),
bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya
kemampuan sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan
pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar